BAHASA SOSIAL PSIKOLOGI
&
MORAL
MATA KULIAH : PSIKOLOGI PENDIDIKAN I
DISUSUN
OLEH:
1. SRI WIJAYANTI
(SRI)
2. LASIDANIATI
(DANIE)
3. SARNI
4. YULIAN (LIAN)
DOSEN PENGAMPU
HAHRUL ROZI M.Si
BEKASI,
21 SEPTEMBER 2013
Bab I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Bahasa adalah alat komunikasi yang
dihasilkan dari alat ucap manusia. Sebagaimana kita ketahui, bahasa terdiri
dari atas kata-kata atau kumpulan kata. Masing-masing mempunyai makna yaitu,
hubungan abstak antara kata sebagai lambang dengan objek atau konsep yang
diwakili kumpulan kata atau kosakata itu oleh ahli bahasa disusun secara
alfabetis, atau menurut urutan abjad, disertai penjelasan artinya dan kemudian
dibukukan menjadi sebuah kamus atau leksikon. Pada waktu kita berbicara atau
menulis, kata-kata yang kita ucapkan atau kita tulis tidak tersusun begitu
saja, melainkan mengikuti aturan yang ada. Untuk mengungkapkan gagasan, pikiran
atau perasaan, kita harus memilih kata-kata yang tepat dan menyusun kata-kata
itu disesuaikan dengan aturan bahasa. Seperangkat aturan yang mendasari
pemakaian bahasa, atau yang kita gunakan sebagai pedoman bahasa inilah yang
disebut tata bahasa.
B. Tujuan
Tulisan ini bertujuan untuk menambah
wawasan para pembaca, khususnya para mahasiswa jurusan bahasa, fakultas psikologi
agar nantinya dalam menempuh ujian tegah semester dan ujian akhir semester
sesuai dengan materi pembelajaran yang disampaikan oleh dosen pengajar.
Bab II
Pengertian Bahasa Menurut Para Ahli
A. Santrok (2007), bahasa adalah suatu
bentuk komunikasi bik itu lisan, tertulis atau isyarat yang berdasarkan pada
sustu sistem dari simbol-simbol.
B. Hurlock (1978) bahasa mencakup
setiap sarana komunikasi dengan menyimbulkan pikiran dan perasaan untuk
menyampaikan makna kepada orang lain.
C. Papalia (2008) bahasa merupakan
sistem yang didasarkan pada kata dan tata bahasa.
Bab III
Fungsi dan Sistem Aturan Bahasa
A. Fungsi Bahasa:
a. Untuk tujuan praktis: mengadakan
hubungan dalam pergaulan seari-hari
b. Untuk tujuan artistik: manusia
menngolah dan menggunakan bahasa dengan seindah-indahnya guna pemuasan rasa
estetis manusia.
c. Sebagai kunci mempelajari
pengetahuan-pengetahuan lain, di luar pengetahuan kebahasaan.
d. Untuk mempelajari naskah-naskah tua
guna menyelidiki latar belakang sejarah manusia, selama kebudayaan dan
adat-istiadat, serta perkembangan bahasa itu sendiri (tujuan filologis).
B. Sistem Aturan Bahasa:
a. Fonologi, adalah
sistem suara dari bahasa termasuk suara yang digunakan dan bagaimana mereka
dapat dikombinasikan. Onologi memainkan peran penting dalam perkembangan awal
ketrampilan membaca (Berninger, 2006; Snow & Kang, 2006). Ingatlah
kesimpulan Mayer (2004) bahwa seorang anak tidak akan mampu membaca kata
tertulis jika ia tidak sadar akan unit suara dalam kata-kata. Pemberian
pengajaran secara langsung dalam kesadaran fonemik meningkatkan kemampuan
membaca (Ehri, dkk;2001), Jika murid tidak mengembangkan ketrampilan fonologis
yang bagus di tahun-tahun pertama sekolah dasar, mereka mungkin tidak dapat mengembangkan
secara otomatis dalam menguraikan kode kata-kata, yang berarti mereka harus
menghabiskan lebih banyak waktu untuk meguraikan kode sehingga menyisakn
sedikit waktu untuk pemahaman membaca (Stanovich, 1994). Ketrampilan fonologi
yang harus dapat menghasilkan perbendaharaan kata yang lemah, seperti yang akan
kita bahas, berhubungan dengan kekurangan dalam pemahaman membaca. Menurut
Mayer (2004), hanya 5-18 jam pengajaran secara langsung dalam kesadaran
fonologi (phonological awareness)
dapat membantu meletakan murid untuk menjadi pembaca yang cakap.
b. Morfologi,
merujuk pada unit arti yang terlibat dalam formasi huruf. Setiap kata dalam
bahaa Inggris terdiri dari satu morfem atau lebih. Sebuah morfem adalah satu
unit minimal, seteri –ed yang
mengubah help menjadi helped.
“Morfologi adalah sesuatu yang mengubah kata yang relatif sederhana seperti
heal menjadi helath” (Rutter, 2005). Morfologi mula menjadi penting dalam
membaca pada sekitar kelas tig dan empat ketika murid banyak memjumpai
kata-kata yang mengandung lebih dari satu silabel. Pembaca yang tidak cakap
dalam morfologi seringkali mempunyai kesulitan untuk mengenali akhiran seperti –tion dan mengucapkan kata-kata dengan
akhiran ini (Rutter, 2005), Banyak mutid dari tingkat menengah sekolah dasar
hingga perguruan tinggi merupakan pembaca bermasalah yang tidak mempunyai
kesadaran morfologi yang baik (Berninger, 2006; Mann, 1998 1998; Nagy dkk,
2003).
c. Sintaksis, melibatkan cara
pengkombinasian kata-kata untuk membentuk kalimat yang dapat diterima. Sintaksis
terutama fokus pada ketrampilan tata bahasa. Ketrampilan tata bahasa yang baik
memainkan peranan penting dalam pemahaman membaca, Seorang anak mempunyai
etrampilan tata bahasa yang buruk dari segi menngucapkan dan mendengarkan serta
tidak memahami apa yang dimaksud dengan “The car was pushes by a truck” ketika
diucapkan, juga tidak akan dapat menentukan apa yang dirujuk oleh kata ganti
(seperti dalam “John went to the store with his dog. It was closed’.) tidak
akan berprestasi baik dalam pemahaman membaca.
d. Semantik merujuk pada arti kata
dalam kalimat. Keterampilan semantik yang baik berperan dalam proses untuk
menjadi seorang pembaca yang cakap (McHhorter,2006; Rubi, 2006). Sebuah aspek
penting dari semantik adalah perbendaharaan kata. Ingatlah bahwa dalam definisi
Mayer mengenai membaca (2004), pengaksesan arti kata, yang melibatkan “penemuan
representasi mental dari kata dalam memori seseorang”, adalah proses kognitif
utama dalam membaca. Perbendaharaan kata yang baik membantu pembaca mengakses arti
kata dengan mudah dan peneliti telah menemukan bahwa perkembangan
perbendaharaan kata merupakan sebuah aspek penting dalam membaca (Berninger,
2006; Snow & Kang, 2006). Sebagai contoh, sebuah studi terkini menemukan
bahwa perbendaharaan kata yang baik berkaitan dengan pemahaman membaca pada
murid-murid kelas dua (Berninger & Abbott, 2005). Studi riset lainnya juga
telah menemukan bahwa perbendaharaan kata memainkan peran penting dalam
pemahaman membaca. Dua cara utama untuk meningkatkan perbendahraan kata adalah
dengan cara pembelajaraan langsung dan immersion (penggunaan suatu bahasa
secara eksklusif). Pengajaran secara langsung melibatkan pengajaran terhadap
murid mengenai defini kata. Immersion dilakukan dengan melibatkan murid dalam
aktivitas-aktivitas, seperti membaca, mendengarkan, dan menghasilkan prosa.
C. Pendekatan dalam Membaca
a. Pendekatan Fonik (phonics approach) menekankan bahwa
pengajaran membaca harus berfokus pada fonik dan aturan dasar untuk
menterjemahkan simbol tertulis menjadi suara (Cunningham, 2005; Lane &
Pullen, 2004). Pengajaran membaca pada tahap awal harus melibatkan materi yang
disederhanakan. Hanya setelah mereka mempelajari korespondensi aturan yang
menghubungkan fonem terucap dengan huruf alfabet yang mewakilinya, barulah anak-anak
diberi materi bacaan yang kompleks, seperti buku dan puisi.
b. Pendekatan Bahasa menyeluruh (whole-language approuch) menekankan
bahwa pengajaran membaca harus bersifat paralel dalam pembelajaran bahasa
alamiah anak-anak. Materi bacaan haruslah menyeluruh dan berarti yaitu,
anak-anak harus diberi materi dalam bentuk yang lengkap, seperti serita dan
puisi sehingga mereka dapat belajar untuk memahami fungsi komunikatif bahasa.
Membaca harus dikaitkan dengan ketrampilan mendengarkan dan menulis. Meskipun
terdapat variasi dalam program bahasa menyeluruh, sebagain besar memiliki dasar
pemikiran sama bahwa membaca harus digabungkan dengan ketrampilan dan subjek
lainnya, seperti ilmu pengetahuan dan studi sosial, serta bahan tersebut harus
berfokus pada materi dunia nyata. Pendekatan manakah yang lebih baik? Anak-anak
bisa mendapatkan manfaat dari kedua pendekatan tersebut, tetapi instruksi dalam
fonik ditekankan penggunaannnya terutama di taman kanak-kanak dan kelas satu.
BAB IV
Teori Ekologi
Bronfenbrenner
Teori Ekologi
yang dikembangkan oleh Bronfenbrenner (1917) focus utamanya adalah pada konteks
social dimana anak tinggal dan orang-orang yang mempengaruhi perkembangan anak.
Dalam teori ekologi Bronfenbrenner terdiri atas lima sistem lingkungan
yang meliputi dari interaksi interpersonal sampai ke pengaruh kultur yang lebih
luas, yaitu :
1.
Mikrosistem adalah
lingkungan dimana individu banyak menghabiskan waktu. Lingkungan tersebut
antara lain keluarga, teman sebaya, sekolah, dan tetangga. Dalam mokrosistem ini individu berinteraksi
langsung dengan orang tua, guru, teman seusia, dan orang lain. Menurut teori
ini murid adalah orang yang berinteraksi secara timbal-balik dengan orang lain
dan membantu membentuk lingkungan tersebut.
2.
Mesosistem adalah kaitan
antara mikrosistem. Contohnya adalah hubungan antara pengalaman dalam keluarga
dengan pengalaman di sekolah, dan antara keluarga dan teman sebaya. Misalnya
salah satu mesosistem penting adalah hubungan antara sekolah dan keluarga.
3.
Eksosistem (exosystem) terjadi
ketika pengalaman keadaan lain (dimana murid tidak berperan aktif) mempengaruhi
pengalaman murid dan guru dalam konteks mereka sendiri. Misalnya dewan sekolah
dan dewan pengawas taman dalam suatu komunitas. Mereka memegang peran kuat
dalam menentukan kualitas sekolah, taman, fasilitas rekreasi, dan perpustakaan.
Keputusan mereka bisa membantu atau menghambat perkembangan anak.
4.
Makrosistem adalah kultur
yang lebih luas. Kultur adalah istilah luas yang mencakup peran etnis dan
faktor sosioekonomi dalam perkembangan anak. Kultur termasuk adat istiadat,
nilai masyarakat. Misalnya kultur di negara Islam lebih mendominasikan
pendidikan kepada pria sedang di AS mendukung kesetaraan antara pia dan wanita.
5. Kronosistem
adalah kondisi sosiohistoris dari perkembangan anak. Misalnya murid sekarang
ini tumbuh sebagai generasi yang pertama (Louw, 1990). Anak-anak sekarang
adalah generasi pertama yang tumbuh dalam lingkungan elektronik yang dipenuhi
oleh computer dan bentuk media baru, generasi pertama dalam revolusi seksual, dan
generasi pertama yang tumbuh dalam kota yang semrawut, yang tidak jelas antara
batas antara kota dan desa
Mendidik anak
berdasarkan teori Brefenbrenner adalah sebagai berikut:
1.
Pandanglah
anak sebagai sosok yang terlibat dalam berbagai system lingkungan dan
dipengaruhi oleh sIstem-sistem itu. Lingkungan itu antara lain sekolah dan
guru, orang tua dan saudara kandung, komunitas dan tetangga, teman dan rekan
sebaya, media, agama dan kultur.
2.
Perhatikan
hubungan antara sekolah dan keluarga, jalin melalui saluran formal dan
informal.
3. Sadari arti
penting dari komunitas, status sosioekonomi, dan kultur dalam perkembangan
anak. Konteks sosial ini bisa sangat mempengaruhi perkembangan anak
BAB V
Teori Perkembangan Rentang
Hidup Erikson
Teori Erikson
melengkapi analisis Bronfenbrenner. Erikson (1902-1994) mengemukakan teori
perkembangan seseorang melalui delapan tahapan yang akan dilalui oleh seseorang
(yang kemudian dikenal dengan teori psikososial). Masing-masing tahap terdiri
dari tugas perkembangan yang dihadapi oleh individu. Hasil dari tiap tahap tergantung dari hasil
tahapan sebelumnya. Semakin sukses seseorang mengatasi krisis dalam setiap
tahap, semakin sehat psikologi individu tersebut
Masing-masing
tahap punya sisi positif dan negatif. Tahap-tahap perkembangan tersebut, yaitu
:
Tahap I
Oral Sensory (bayi). Tahap
psikososial pertama oleh Erikson disebut sebagai rasa percaya versus rasa tidak
percaya (trust versus mistrust). Dalam tahap ini, bayi berusaha
keras untuk mendapatkan pengasuhan, kehangatan, dan persahabatan yang
menyenangkan, sehingga timbul kepercayaan, sebaliknya ketidakpercayaan akan
tumbuh jika bayi diperlakukan terlalu negative atau diabaikan
Tahap II
Masa kanak-kanak
awal.
yang kedua disebut sebagai otonomi versus rasa malu dan ragu (shame and
doubt). Tahap ini terjadi pada masa akhir (late infancy) dan masa belajar
berjalan (toddler). Setelah mempercayai pengasuhnya sang bayi mulai menemukan
bahwa tindakannya adalah tindakannya sendiri. Mereka menyadari kehendaknya
sendiri pada tahap ini anak akan melakukan apa yang diinginkan dan menolak apa
yang diinginkan. Jika bayi dibatasi atau terlalu keras dihukum akan
mengembangkan rasa malu dan ragu
Tahap III
Masa kanak-kanak
awal hingga madya.
Erikson menyebut tahap ketiga ini sebagai inisiatif versus rasa bersalah (initiative
versus guilt). Untuk mengatasi tantangan ini anak-anak harus aktif
dan tindakannya mempunyai tujuan. Dalam tahap ini orang dewasa berharap anak
menjadi lebih tanggungjawab.
Tahap IV
Masa kanak-kanak
madya hingga akhir.
Tahap ke empat oleh Erikson disebut sebagai Usaya versus inferioritas. Tahap
ini terjadi kira-kira pada masa sekolah dasar, dari usia enam tahun hingga usia
puber atau awal remaja. Inisiatif anak membuat mereka berhubungan dengan banyak
pengalaman baru. Masa kanak-kanak akhir adalah masa dimana anak paling
bersemangat untuk belajar, saat imajinasi mereka berkembang. Bahaya masa ini
muncul perasaan rendah diri, ketidakproduktivan dan inkompetensi.
Tahap V
Masa remaja. Tahap
kelima adalah tahapan Erikson yang paling penting dan paling berpengaruh, yaitu
identitas versus kebingungan peran (identity versus role confusion).
Pada tahap ini remaja berusaha untuk mencari jatidirinya, apa makna dirinya,
dan kemana mereka akan menuju. Remaja ini perlu diberi kesempatan
mengeksplorasi berbagai cara untuk memahami identitas dirinya. Apabila remaja
tidak cukup mengeksplorasi peran yang berbeda dan tidak merancang jalan masa
depan yang positif, mereka bisa tetap bingung akan identitas diri mereka
Tahap VI
Masa dewasa muda. Tahap ke
enam disebut sebagai keintiman versus kesendirian (intimacy versus isolation).
Tugas perkembangannya adalah membentuk hubungan yang positif dengan orang lain.
Bahaya pada tahap ini adalah orang bisa gagal membangun hubungan dekat dengan pacar
atau kawannya dan terisolasi secara social. Bagi individu seperti ini kesepian
bisa membayangi seluruh hidup mereka
Tahap VII
Masa dewasa
menengah.
Tahap ini pada masa dewasa pertengahan, sekitar usia 40-an dan 50-an.
Generativity berarti mentransmisikan sesuatu yang positif pada generasi
selanjutnya. Ini bisa berkaitan dengan peran seperti parenting dan pengajaran.
Melalui peran itu orang dewasa membantu generasi selanjutnya untuk
mengembangkan hidup yang berguna
Tahap VIII
Masa dewasa
akhir.
Tahapan ke delapan dan terakhir oleh Erikson disebut sebagai integrasi ego
versus keputusasaan (ego integrity versus despair). Pada tahap
usia lanjut ini, mereka juga dapat mengingat kembali masa lalu dan
melihat makna, memikirkan apa-apa yang telah mereka lakukan. Jika evaluasi
retrospektif ini positif, mereka akan mengembangkan rasa integritas. Yakni
mereka memandang hidup mereka sebagai hidup yang utuh dan positif untuk
dijalani. Sebaliknya orang tua akan putus asa jika renungan mereka kebanyakan
negative
Tahap
Rentang Hidup Erikson
Periode Perkembangan
|
Tahap Erikson
|
Bayi
(tahun pertama)
|
Percaya
vs tidak percaya
|
Masa
bayi (tahun kedua)
|
Otonomi
vs malu dan ragu
|
Kanak-kanak
awal (prasekolah, 3,5 tahun)
|
Inisiatif
vs rasa bersalah
|
Kanak-kanak
pertengahan dan akhir (SD, 6 sampai puber)
|
Usaha
vs inferioritas
|
Remaja
(10-20an)
|
Identitas
vs kebingungan identitas
|
Dewasa
awal usia (20-30an)
|
Intimasi
vs isolasi
|
Dewasa
pertengahan (usia 40-50an)
|
Generative
vs stagnasi
|
Dewasa
akhir (usia 60 tahun keatas)
|
Integritas
vs putus asa
|
BAB VI
Konteks Sosial dalam Perkembangan
1.
Keluarga
Orang tua
merupakan pendidik utama dan pertama bagi anak-anak mereka, karena dari
merekalah anak mula-mula menerima pelajaran (pendidikan). Pada umumnya
pendidikan dalam rumah tangga itu bukan berpangkal tolak dari kesadaran dan
pengertian yang lahir dari pengetahuan mendidik, melainkan secara kodrati.
Situasi pendidikan terwujud berkat adanya pergaulan dan hubungan pengaruh
mempengaruhi secara timbal balik antara orang tua dan anak
Anak-anak tumbuh dalam keluarga yang
berbeda-beda. Situasi yang bervariaasi ini akan mempengaruhi perkembangan
anak dan mempengaruhi murid didalam dan diluar lingkungan sekolah (Crowan &
Crowan, 2002 dan Morrisan dan Cooney, 2002).
a.
Gaya Parenting (gaya asuh)
Ada empat bentuk gaya pengasuhan atau perentin:
1)
Authoritarian Perenting (Otoriter)
Merupakan gaya asuh yang bersifat
menghukum dan membatasi (otoriter). Dimana hanya ada sedikit percakapan antara
orang tua dan murid, menghasilkan anak yang tidak kompeten secara sosial.
2)
Authoritative
Pareting (Otoritatif)
Merupakan gaya asuh yang positif yang
mendorong anak untuk independen tapi masih membatasi dan mengontrol tindakan
mereka. Perbincangan saling tukar pendapat diperbolehkan dan orang tua bersikap
membimbing dan mendukung. Menghasilkan anak yang kompeten secara sosial. Anak
cenderung mandiri, tidak cepat puas, gaul, dan memperlihatkan harga diri yang
tinggi.
3)
Neglectful Parenting
Gaya asuh dimana orang tua tidak
terlibat aktif dan tidak perduli dengan kehidupan anaknya (mengabaikan) , orang
tua hanya meluangkan sedikit waktu. Hasilnya anak anak sering bertindak tidak
kompeten secara sosial. Mereka cendrung kurang bisa mengontrol diri, tidak
cukup termotifasi untuk berprestasi
4)
Indulgend
Parenting
Gaya asuh dimana
orang tua sangat terlibat dalam kehidupan anaknya tapi tidak banyak memberikan
batasan atau kekeangan pada perilaku mereka. Orang tua ini sering membiarkan
anak melakukan apa yang mereka inginkan, dengan maksud membebaskan anak untuk
belajar kreatif dan percaya diri. Hasilnya adalah anak-anak tidak bisa belajar
untuk mengendalikan prilaku mereka
b.
Keluarga yang berubah dalam masyarakat yang berubah
Anak-anak dari keluarga yang bercerai,
perceraian dalam keluarga dapat memberikan dampak yang kompleks terhadap anak.
Hal tersebut tergantung faktor-faktor seperti usia anak, kekuatan dan kelemahan
anak saat perceraian, tipe parenting, status social ekonomi dan
pelaksanaan fungsi keluarga setelah perceraian. Adanya sistem pendukung seperti
saudara kawan, guru, dapat menciptakan hubungan positif yang terus
berlanjut anatara ayah dan ibu yang sudah bercerai, kemapuan memenuhi kebutuhan
keuangan dan kualitas sekolah dapat membantu anak dalam mengatasi situasi
perceraian yang menekan.
Beberapa cara yang dilakukan guru untuk
membantu anak yang tertekan akibat perceraian:
1)
Menghubungi
orang tuanya
2)
Menyarankan
untuk memcari bimbingan professional dalam maksud bimbingan konseling, yaitu
dengan mengadakan pertemuan regular anatara anak dan orang tua yang dibimbing
oleh professional mental atau guru yang memiliki keahlian khusus
3)
Membantu
si anak dengan cara memberi perhatian yang lebih dan member bimbingan kepada
mereka agar dapat mengatasi situasi dan berkosentrasi dalam pelajaran sekolah
4) Anjurkan mereka
membaca buku tentang menghadapi perceraian
c.
Variasi etnis dan sosial ekonomi keluarga
Keluarga dalam kelompok etnis yang
berbeda akan bervariasi dalam besar, strukturnya dan komposisinya: keterkaitan
mereka dengan jaringan kerabat, dan level pendapatan dan pendidikannya.
Praktek pengasuhan anak berbeda-beda
diantara keluarga yang bersatatus ekonomi tinggi, sedang dan rendah. Contohnya,
orang tua yang berpendapatan rendah lebih sering menekankan pada karakteristik
eksternal seperti kepatuhan dan kerapian. Sebaliknya keluarga yang status
ekonomi menengah sering menekankan pada karakter nilai internal seperti kontrol
diri dan penundaan rasa puas. Orang tua yang berstatus social ekonomi menengah
lebih sering memuji, melengkapi disiplin dengan penalaran, dan mengajukan
pertanyaan kepada anak. Orang tua berstatus
ekonomi rendah, lebih mungkin menggunakan hukuman fisik dan mengkritik
anaknya.
d.
Hubungan Sekolah-keluarga
Dalam teori
Bronfendbrenner, hubungan antara keluarga dan sekolah adalah meso system yang
penting. Demikian juga menurut studi Hetherington, lingkungan sekolah yang
otoritatif akan menguntungkan anak-anak dari beragam keluarga yang berbeda.
Joyce Epstai (1996, 2001: Epstain &
Sanders, 2002) mendeskripsikan enam area dimana hubungan keluarga dan sekolah
dibentuk:
1)
Menyediakan
bantuan untuk keluarga. Sekolah dapat memberikan informasi kepada orng tua
informasi tentang keterampilan bagaimana cara keluarga mendidik anak,
menerangkan arti penting keluarga , perkembangan anak dan remaja dan konteks
rumah yang bisa memperkaya pembelajaran dikelas. Guru adalah hal yang sangat
penting untuk menciptakan hubungan antara sekolah dan keluarga.
2)
Berkomunikasi
secara efektif dengan keluarga mengenai program sekolah dan kemajuan anak
mereka. Kehadiran orang tua dapat membuat murid tahu orang tua memperhatikan
prestasi mereka di sekolah.
3)
Ajak
orang tua untuk menjadi relawan. Di sekolah orang tua sebagai relawaan
dan untuk meningkatkan meningkatkan kehadiran dalam pertemuan sekolah.
4)
Libatkan
keluarga dengan anak mereka dalam aktivitas belajar di rumah.
5) Libatkan
keluarga sebagai partisipan dalam keputusan sekolah. Orang dua bisa di undang
untuk menjadi dewan sekolah, komite sekolah, penasehat dan organisasi orang tua
lainnya. Organisasi orang tua-guru dengan tujuan untuk melakukan diskusi tujuan
pendidikan dan sekolah, metode belajar yang tepat sesuai dengan usia, disiplin
anak, dan kinerja ujian
2.
Teman Sebaya
Dalam konteks
perkembangan anak, teman sebaya (seusia) adalah anak pada usia yang sama.
Sebaya adalah orang dengan tingkat umur dan kedewasaan yang kira–kira sama.
Teman sebaya memegang fungsi, yaitu memberikan informasi dan perbandingan
tentang dunia diluar keluarga.
Piaget dan
Sullivan memberikan penjelasan tentang peran sebaya dalam perkembangan
sosioemosional. Melalui interaksi sebayalah anak anak dan remaja belajar berinteraksi simetris dan timbal balik.
Dengan sebaya, anak–anak belajar memformulasikan dan menyatakan pendapat
mereka, menghargai sudut pandang sebaya, menegosiasikan solusi atau
perselisihan secara kooperatif, dan mengubah standart perilaku yang diterima
semua.
Fungsi teman sebaya
1)
Teman
sebaya ialah anak-anak yang tingkat usia dan kematangannya kurang lebih sama.
2)
Salah
satu fungsi kelompok teman sebaya yang paling penting ialah menyediakan suatu
sumber informasi dan perbandingan tentang dunia di luar keluarga
3)
Relasi
yang buruk di antara teman-teman sebaya pada masa anak-anak diasosiasikan
dengan suatu kecenderungan untuk putus sekolah dan perilaku nakal pada masa
remaja
4)
Relasi
yang harmonis di antara teman-teman sebaya pada masa remaja diasosiasikan
dengan kesehatan mental yang positif pada tengah baya.
a.
Status Teman Sebaya
Ada empat tipe
status teman sebaya: anak popular, anak diabaikan, anak ditolak, dan anak
kontroversial. Anak populer (popular Children) sering kali dinominasikan
sebagai kawan terbaik dan jarang dibenci teman sebayanya. Anak diabaikan (neglegted children)
jarang dinominasikan sebagai kawan terbaik, tetapi bukan tidak disukai oleh kawan
seusianya. Anak ditolak (rejected children) jarang dinominasikan
sebagai kawan yang baik dan sering dibenci oleh teman seusianya. Anak yang
ditolak mengalami masalah penyesuaian diri yang serius ketimbang anak yang
diabaikan. Faktor penting dalam memprediksi apakah anak yang ditolak itu
melakukan tindakan jahat atau keluar dari sekolah menengah adalah sikap
agresinya terhadap teman sebayanya pada saat masih sekolah dasar. Anak
controversial (controversial children) sering kali dinominasikan sebagai
teman baik tetapi juga kerap tidak disukai.
Menurut Piaget
dan Kohlberg, melalui teman sebaya, anak–anak mengembangkan pemahaman sosial
dan logika moral mereka, anak–anak menggali prinsip keadilan dan kebaikan.
Hubungan sebaya juga bisa berdampak negatif, ditolak atau diabaikan oleh sebaya
membuat beberapa anak merasa kesepian, dimusuhi dan masalah kriminal. Teman
sebaya dapat mengenalkan remaja pada alkohol, obat – obatan dan
kenakalan-kenakalan.
b.
Persahabatan
Persahabatan
memberikan kontribusi pada status teman usia sebaya dan memberikan keuntungan
lainnya:
l Kebersamaan. meluangkan
waktu dan melakukan kegiatan bersama
l Dukungan fisik.
Persahabatan memberikan sumberdaya dan bantuan disaat dibutuhkan
l Dukungan ego.
Anak merasakan bahwa mereka adalah anak yang bisa melakukan sesuatu dan layak
dihargai, yang terpenting adalah penerimaan sosial dari kawannya
l Intimasi/kasih
sayang. Persahabatan member anak suatu hubungan saling percaya dan dekat dengan
orang lain. Dalam hal ini anak-anak sering kali merasa nyaman mengungkapkan
informasi pribadi mereka.
(Santrock, 2007)
c.
Perubahan Developmen dalam hubungan teman sebaya
Pada masa
sekolah dasar, kelompok teman seusia anak terdiri dari teman seusia dengan
jenis kelamin yang sama. Anak laki-laki saling mengajarkan perilaku maskulin
dan anak perempuan mengajarkan kultur wanita dan biasanya suka berkelompok
dengan teman-temannya. Mereka membentuk kelompok kecil yang khusus atau
disebut Klik (Clique) dan kesetiaan pada kelompok ini dapat mempengaruhi
hidup mereka. Identitas kelompok dengan klik ini bisa mengaburkan identitas
diri. Beberapa jenis klik, misalnya kelompok anak yang menyukai olah raga, anak
populer, anak pintar, pencandu narkoba dan jagoan. Namun diantara beberapa anak
sangat independen dan tak ingin masuk ke kelompok mana pun. Para remaja
biasanya lebih tergantung pada kawan ketimbang pada orang tua mereka untuk
memuaskan kebutuhan akan rasa kebersamaan, kepastian dan kedekatan.
3.
Sekolah
Sekolah
merupakan pusat pendidikan formal. Sekolah banyak berperan dalam mengembangkan
social emosional anak karena disekolah mereka mulai bergaul sebagai bagian dari
anggota masyarakat.
Konteks
perkembangan sosial yang terus berkembang di sekolah
konteks sekolah
bervariasi sejak masa kanak-anak awal (taman kanak-kanak), sekolah dasar hingga
remaja. Masa kanak-kanak awal adalah sebuah lingkungan yang terlindung oleh
batas-batas dalam ruang kelas. Dalam setting social yang terbatas ini,
anak-anak berinteraksi dengan satu atau dua guru yang biasanya perempuan, yang
menjadi figure utama dalam kehidupan mereka saat iitu. Anak-anak berinteraksi
dengan teman sebayanya dalam kelompok kecil. Ruang kelas merupakan
konteks utama disekolah dasar, kelas lebih mungkin dirasakan sebagai unit
social ketimbang kelaspada masa taman kanak-kanak. Pada masa SMP lapang
sosialnya lebih luas bukan hanya ruang kelas saja. Remaja berinteraksi dengan
guru dan teman seuria mereka dari berbagai kalangan dengan latar belakang
kultur yang berbeda. Pada saat ini perilaku remaja makin mengarah pada
interaksi dengan teman, ekstrakulikuler, klub dan komunitas. Murid SMA lebih
menyadari sekolah sebagai system social dan mungkin termotivai untuk
menyesuaikan diri dengannya atau menentang (Santrock, 2007).
Berdasarkan
pengamatan dan rekomendasi dari pakar dan pengamat pendidikandiseluruh negeri
ada tiga ciri-ciri utama dari sekolah-sekolah terbaik:
1)
Sekolah
yang mampu menyesuaikan semua kegiatan sekolah dengan variasi individu dalam
pengembangan fisik, kognitif, dan sosioemosional murid-muridnya
2)
Mereka
memandang serius apa yg dikenal sebagai perkembangan remaja awal. Beberapa SMP
hanya mempersispkan siswanya untuk masuk ke jenjang yang lebih tinggi. Salah
satu contohnya ada sekolah efektif membuat kelompok kecil, dimana murid
bekerjasama dengan sekelompok kecil guru yang berbeda-beda, tergantung kepada
kebutuhan murid
3)
Sekolah-sekolah
yang banyak perhatian pada perkembangan sosioemosional dan kognitif
Menurut
Carrnegie untuk meningkatkan kualitas dan mutu sekolah mengah dilakukan hal-hal
berikut ini:
1)
Pengembangan
komunitas atau rumah yang lebih kecil untuk mengurangi sifat impersonal dari sekolah
2)
Melibatkan
orang tua dan tokoh masyarakat dalam sekolah
3)
Menyusun
kurikulum yang dapat menghasilkan murid melek huruf, memahami sains, dan punya
pemahaman tentang kesehatan, etika, dan kewarganegaraan
4)
Membentuk
tim guru dan kurikulum yang lebih fleksibel yang mengintegrasikan beberapa
disiplin ilmu, bukan sekedar memberi pelajaran kepada murid dengan
jam-jam pelajar selama 50 menit yang terpisah dan tak terkait satu sama
lain
5)
Meningkatkan
kesehatan dan kebugaran murid melalui program disekolah dan membantu murid yang
butuh perawatan kesehatan
BAB VII
Perkembangan
Sosioemosional
Sejauh
ini kita telah mendiskusikan konteks penting yang mempengaruhi perkembangan
sosioemosional pada murid pada keluarga, teman seusia, dan sekolah. Pada bagian
ini kita akan memfokuskan pada murid itu sendiri yang berkaitan dengan
perkembangan diri dan moralitas anak.
Diri,
para psikolog sering menyebut “aku” ini sebagai “diri” (self). Ada dua aspek
penting dalam diri ini, yakni harga diri (self-esteem) dan identitas diri.
Harga diri.
Penghargaan
diri (self-esteem) adalah pandangan keseluruhan dari individu tentang dirinya
sendiri. Penghargaan ini juga dinamakan martabat diri (self-worth) atau
gambaran diri (self-image). Misalnya anak yang punya penghargaan diri yang
tinggi mungkin tidak hanya memandang dirinya sebagai seseorang tetapi juga
sebagai seseorang yang baik. Rogers (1961) mengatakan bahwa sebab utama
seseorang mempunyai penghargaan diri yang rendah (atau rendah diri)
adalah karena mereka tidak diberikan dukungan emosional dan penerimaan social
yang memadai. Mungkin dahulu saat masih berkembang sering ditegur. Misalnya
“jangan ini, jangan itu”, “kamu kok bodoh banget”, dan lain-lain.
Para
peneliti telah menemukan bahwa harga diri murid berubah pada saat mereka berkembang.
Dalam suatu studi baik itu laki-laki atau perempuan mempunyai hatga diri yang
tinggi pada saat anak-anak dan menurun pada masa remaja awal (Robins, dkk).
Penghargaan diri anak gadis turun dua kali lebih besar dari anak
laki-laki selama masa remaja. Diantara beberapa alasan yang menjadi
penyebab menurunnya harga diri ini adalah akibat gejolak selama perubahan fisik
(pubertas), meningkatnya tuntutan untuk berprestasi, dan kurangnya dukungan
dari sekolah dan orang tua.
Riset
menyarankan empat kunci untuk meningkatkan rasa harga diri anak (Bednar, Well
& Peterson, 1995, Harter, 1999):
1)
Identifikasi
penyebab rendah diri dan area kompetensi yang penting bagi diri. Apakah rendah
diri karena prestasi sekolah? Karena konflik? Kemampuan social rendah? Murid
mempunyai harga diri tinggi ketika mereka bisa kompeten dan sukses dalam
melakukan sesuatu di area yang mereka anggap penting.
2)
Berikan
dukungan emosional dan penerimaan social. Disetiap kelas punya anak yang banyak
nilai buruknya. Mungkin anak ini berasal dari keluarga yang suka menghina dan
merendahkan si anak atau mungkin murid ini di kelas yang terlalu banyak
memberikan penilaian negative. Dukungan emosional dan penerimaan social
anda dapat amat membantu mereka menghargai diri mereka sendiri.
3)
Bantu
anak untuk mencapai tujuan atau prestasi. Prestasi bida menaikkan harga diri.
Pengajaran atau kursus ketrampilan akademik secara langsung dapat menaikan
prestasi anak, dan akibatnya dapat menaikkan harga diri anak.
4)
Kembangkan
ketrampilan mengatasi masalah. Ketika anak mempunyai problem dan bisa
mengatasinya, bukan menghindarinya, maka rasa harga dirinya akan naik. Murid
yang mau mengatasi masalah kemungkinan akan menghadai problem secara jujur dan
realistis, ini menghasilkan pemikiran yang positif tentang diri mereka sendiri
yang akibatnya bisa meningkatkan harga diri mereka.
Perkembangan
identitas.
Aspek penting lain selain diri adalah identitas. Menurut Erikson (1968)
persoalan paling penting dalam diri remaja adalah perkembangan identitas yang
berupa pencarian jawaban atas pertanyaan seperti: Siapa saya? Seperti apakan
saya ini? Apa yang akan saya lakukan dalam hidup ini? Pertanyaan-pertanyaan ini
jarang muncul pada masa kanak-kanak tetapi sering muncul dimasa remaja dan
perguruan tinggi.
Erikson
menyimpulkan bahwa adalah penting untuk membedakan antara eksplorasi dan
komitmen. Eksplorasi adalah pencarian identitas alternative yang bermakna.
Komitmen adalah menunjukkan penerimaan personal pada satu identitas dan
menerima apapun implikasi dari identitas itu. Berdasarkan klasifikasinya
menurut komitmen dan eksplorasi terdapat empat tipe identitas.
Gambar 3
Empat Status IdentitasMarcia
Apakah
orang itu membuat komitmen
|
|||
Ya
|
Tidak
|
||
Apakah
orang itu mengeksplorasi alternative yang bermakna yang berhubungan dengan
persoalan identitas
|
Ya
|
Identity
achievement
|
Identity
moratorium
|
Tidak
|
Identity
foreclosure
|
Identity
diffusion
|
Identity
diffusion,
terjadi ketika individu belum mengalami krisis (yakni belum mengeksplorasi
altrenatif yang bermakna) atau membuat komitmen. Mereka belum memutuskan
pilihan pekerjaan dan ideology.
Identity
Foreclosure,
terjadi saat individu membuat komitmen tetapi belum mengalami krisis.
Identity
Moratorium,
terjadi ketika individu berada ditengah-tengah krisis tetapi komitmen mereka
tidak ada atau baru didefinisikan secara samar-samar.
Identity
Achievement,
terjadi ketika individu telah mengalami krisis dan telah membuat komitmen.
Perkembangan
Moral.
Hanya sedikit
orang yang netral terhadap perkembangan moral. Banyak orang tua menghawatirkan
kelau anak mereka tumbuh tanpa membawa nilai tradisional mereka. Perkembangan
moral berkaitan dengan aturan dan konvensi tentang interaksi yang adil antar
orang. Atura ini dikaji dalam tiga domain, yaitu kogbitif, behavioral, dan
emosional.
Dalam domain kognitif
isu kuncinya adalah bagaimana murid menalar atau memikirkan aturan untuk
perilaku etis. Dalam domain behavioral fokusnya adalah pada bagaimana
murid berperilaku secara actual. Dalam domain emosional penekanannya
adalah pada bagaimana murid merasakan secara moral. Misalnya apakah perasaan
bersalah yang kuat dipakai untuk menahan diri untuk tidak melakukan tindakan
yang tiak bermoral? Apakah mereka menunjukkan empati kepada orang lain?
1)
Teori Piaget.
Piaget menyusun
teori tentang tahap perkembangan moral dengan tahap perkembangan.
a.
Heteronomous morality adalah tahap
perkembangan moral pertama menurut Piaget. Tahap ini berlangsung kira-kira usia
empat sampat tujuh tahun. Pada tahap ini keadilan dan aturan dianggap sebagai
bagian dari dunia yang tak bisa diubah, dikontrol oleh orang.
b.
Autonomous morality adalah tahap
perkembangan moral kedua, yang tercapai pada usia 10 tahun atau lebih. Pada
tahap ini anak mulai mengetahui bahwa aturan dan hukum adalah perbuatan manusia
dan bahwa dalam menilai suatu perbuatan, niat pelaku dan konsekwensinya harus
dipikir. Anak dalam usia tujuh sampai sepuluh tahun adalah masa transisi, dan
karenanya mereka menunjukkan ciri-ciri dari kedua tahap ini.
2)
Teori Kohlberg
Seperti Piaget
Kohlberg menandaskan bahwa perkembangan moral terutama melibatkan penalaran
(reasoning) moral berlangsung pada tahapan-tahapan.
Konsep penting
untuk memahami teri Kohlberg adalah internalisasi, yang berarti perubahan
perkembangan dari perilaku yang dikontrol secara eksternal ke perilaku yang
dikontrol secara internal.
a.
Preconventional reasoning (penalaran
prakonvensional) adalah level terbawah dari perkembangan moral dalam teori
Kohlberg. Pada level ini anak tidak menunjukkan internalisasi nilai-nilai
moral. Penalaran moral dikontrol oleh hukuman dan ganjaran eksternal.
b.
Conventional
reasoning (penalaran konvensional) adalah tahap kedua atau tahap menengah. Pada
level ini internalisasi masih setengah-setengah (intermediate). Anak patuh
secara internal pada standar tertentu, tetapi standar itu pada dasarnya
ditetapkan oleh orang lain, seperti orang tua atau aturan social.
c.
Postconventional
reasoning (penalaran post konvensional) adalah level tertinggi dalam teori
Kohlberg. Pada level ini moralitas telah sepenuhnya diinternalisasikan dan
tidak didasarkan padastandar eksternal.
Ringkasan tiga
level dan enam tahap perkembangan Kohlberg dapat disajikan dalam gambar
berikut.
Gambar 4
Level dan Tahap
Perkembangan Moral Kohlberg
Level 1
Level
Prakonvensional
Tidak ada
internalisasi
|
Level 2
Level
Konvensional
Internalisasi
Pertengahan
|
Level 3
Level
Postkonvensional
Internalisasi
penuh
|
|||
Tahap
1
Heteronomous
Morality
|
Tahao
2
Individualisme,
Tujuan, dan Pertukaran
|
Level
3
Ekspektasi
Interpersonal Mutual, Hubungan, dan Konformitas Interpersonal
|
Level
4
Morality
Sistem Sosial
|
Level
5 Kontrak social dan Utilitas dan hak individual
|
Tahap
6 Prinsip Etika Universal
|
Anak
patuh karena orang dewasa menyuruh mereka untuk patuh. Orang mendasarkan
keputusan moralnya karena takut pada hukuman
|
Individu
mengejar kepentingannya sendiri, tetapi membiarkan orang lain melakukan hal
yang sama. Apa-apa yang benar myang seimbangelibatkan pertukaran
|
Individu
menggunakan rasa percaya, perhatian, dan loyalitas kepada orang lain sebagai
basis untuk penilaian moral.
|
Penilaian
moral didasarkan pada pemahaman dan aturan social. Hukum. Keadilan dan
kewajiban
|
Individu
memahami bahwa nilai, hak, dan prinsip mendasari atau mengatasi hukum.
|
Orang
telah mengembangkan penilaian moral bersadarkan hak azasi manusia yang
universal. Ketika berhadapan dengan dilemma antara hukum dan dan kesadaran,
yang akan diikuti adalah kesadaran individu seseorang.
|
Kritik
terhadap teori Kohlberg. Teori Kohlberg ini mendapatkan penentangan
(Turiel, 1998), salah satu kritik yang kuat diarahkan pad aide bahwa pemikiran
moral tidak selalu memprediksi perilaku moral. Kritik ini menyatakan bahwa
teori Kohlberg terlalu banyak menekankan pada pemikiran moral dan tidak
memberikan perhatian yang cukup pada perilaku moral. Alasan moral terkadang
dapat menjadi dalih untuk perilaku yang tak bermoral. Penjahat perbankan dan
Presiden AS bisa saja mendukung nilai moral yang luhur, tetapi perilakunya
terbukti tidak bermoral.
Kritik lain
menyatakan Kohlberg terlalu individualistis. Carol Gilligan (1982, 1998)
membedakan antara perspektif keadilan (justice) dan perspektif perhatian
(care). Perspektif keadilan yang berfokus pada hak-hak individual, yang
berdiri sendiri dan menentukan moral sendiri. Perspektif perhatian memandang
orang-orang sebagai individu yang saling berhubungan (connectedness).
Penekanannya adalah pada hubungan dan perhatian pada oraang lain.
Pendidikan
Moral.
Topik ini
menjadi topic yang menarik dalam lingkungan pendidikan. Dewey (1933)
mengakui bahwa ketika sekolah tidak memberikan pelajaran khusus untuk pendidikan
moral, sekolah memberikan pendidikan moral melalui “kurikulum tersembunyi”. Kurikulum
tersembunyi diberikan melalui atmosfir moral yang menjadi bagian dari setiap
sekolah. Suasana moral ini diciptakan oleh aturan sekolah dan aturan kelas,
orientasi moral dari guru dan administrator, dan teks materi pelajaran.
Guru bertindak sebagai model perilaku etis dan tidak etis. Melalui aturan
sekolah memasukkan system nilai ke sekolah.
Pendidikan
karakter. Pendidikan
karakter adalah pendekatan langsung pada pendidikan moral, yakni mengajari
murid dengan pengetahuan moral dasar untuk mencegah mereka melakukan tindakan
tak bermoral yang membahayan orang lain, dan dirinya sendiri. Argumennya adalah
bahwa perilaku seperti berbohong, mencuri adalah keliru dan murid harus diajari
hal ini melalui pendidikan mereka. (Nucci, 2001).
Klarifikasi
nilai-nilai. Pendekatan
untuk pendidikan moral yang menekankan pada upaya membantu orang untuk
mengklarifikasi untuk apa hidup mereka dan apa yang layak untuk dikerjakan
dalam hidup ini. Murid didorong untuk mendefinisikan sendiri nilai-nilai mereka
dan memahami nilai diri orang lain.
Pendidikan moral
kognitif.
Pendekatan yang didasarkan pada keyakinan bahwa murid harus mempelajari
hal-hal seperti demokrasi dan keadilan saat moral mereka sedang
berkembang. Teori Kohlberg telah dijadikan sebagai landasan untuk banyak upaya
pendidikan moral kognitif.
Pembelajaran
Pelayanan.
Pembelajaran layanan (service learning) adalah sebentuk pemdidikan yang
mempromosikan tanggungjawab social dan pelayanan kepada komunitas. Dalam
pembelajaran layanan ini murid mungkin dilibatkan dalam tutoring, membantu
orang jompo, magang dirumah sakit, membantu pusat perawatan. Tujuan penting
dari pembelajaran layanan ini adal;ah agar siswa tidak egois dan lebih termotivasi
untuk membantu orang lain. (Furco & Billing, 2001; Waterman, 1977).
Perilaku
Prososial.
Perilaku prososial adalah sisi positif dari perkembangan moral (yang jauh
berbeda dengan perilaku antisocial seperti menipu, bohong, dan mencuri).
Perilaku prososial adalah perilaku yang dianggap bersifat adil, berbagi
perhatian, atau empatik (Eisenberg & Fabes, 1988). Beberapa strategi yang
bisa dipakai untuk meningkatkan perilaku prososial murid, adalah sebagai
berikut:
1)
Hargai
dan tekankan konsiderasi kebutuhan orang lain.
2)
Jadilah
contoh perilaku prososial.
3)
Beri
label dan identifikasi perilaku prososial dan antisocial.
4)
Nisbahkan
perilaku positif kepada setiap siswa.
5)
Perhatikan
dan dorong perilaku secara social secara positif tetapi jangan terlalu banyak
menggunakan ganjaran eksternal.
6)
Bantu
anak untuk mengambil sikap dan memahami perasaan orang lain.
7)
Gunakan
strategi disiplin yang positif.
8)
Pimpin
diskusi tentang interaksi prososial.
BAB VIII
Simpulan dan Saran
A. Simpulan
1.
Materi
bahasa ini mengupas tentang fungsi bahasa, perkembangan bahasa.
2.
Materi ini
menyampaikan tentang sistem aturan bahasa dalm kontek sosial baik dalam
lingkungan keluarga, masyarakat dan sekolah dari usia anak-anak hingga dewasa.
3.
Materi ini
juga menyampaikan mengenai fungsi bahasa, perkembangan bahasa menurut beberapa
tokoh.
B. Saran
1.
Materi ini
bisa sebagaii bahan UTS (Ujian Tengah Smester) dan UAS (Ujian Akhir Semester)
Mahasiswa Universitas Mercubuana Bekasi dan UAS
2.
Sebagai
sumber pengetahuan terhadap Mahasiswa Universitas Merbuana Fakultas Psikologi
Semester I.
DAFTAR PUSTAKA
John W. Santrok (2013). Salemba Humanika (Psikologi Pendidikan, edisi 3,
buku 2).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar